sumber : pekerja keras |
Siang ini sangat terik, matahari terasa menyengat tubuh ini. Kayuh sekopku harus tetap jalan, menurunkan pasir dalam bak truk ini, sendirian. Pantang minum sebelum, semua pasir turun. Keringat ini terus mengalir, dan terus kuusap dengan baju. Kemudian ku peras dan kuusap lagi leher ini. Belum sampai separuh, celana yang kukenakan basah kuyup tak karuan. Sekalipun badan telah ku seka dengan kaos putih yang bawa, tetap saja tak mampu menahand derasnya keringat. Tak masalah, aku tidak sedang mengeluh. Fani anakku harus tetap makan, istriku harus bisa memasak esok pagi. Aku sendiri tak ingin bercerita tentang ini, andaikan istriku tau derasnya keringat ini, mungkin tak akan tega makan dari hasil pekerjaanku.
Kurang tiga sekop lagi selesai,
kuseka wajah yang bercucuran keringat ini. kemudian kuselesaikan tiga sekop
terakir.
“Sudah selesai pak, “ aku lapor
pada pak supir.
“Oh, ini mas upahnya”. Pak sopir
itu memberikan beberapa lembar uang kepadaku.
Dan masih ada banyak truk yang
harus kuselesaikan siang ini, ikut menaikan dan menurunkan pasir dari truk pak
joni. Tak banyak, Tapi ini cukup untuk beli susu si fani. Untuk dapur aku harus
mencari lagi. Dengan senang hati kuterima job dari pak budi, tukang beras di
pasar seberang. Jadi, jika sore tiba, aku segera berangkat ke pasar, bukan
untuk belanja atau shoping lah istilahnya. Setelah selesai dengan pasir aku
bersih diri solat ashar di masjid sebelah penampungan pasir. Meluncurlah aku
menuju pasar sebagai kuli panggul beras. Jika siang dengan pasir, sore ini
harus dengan beras. Tubuh ini tak bisa lelah. Untunglah istriku ini pengertian,
setiap aku pulang. Dia pasti menawarkan diri untuk memijat tubuh ini. Rasa
lelah bahakan tak pernah ada ketika melihat fani senang dengan kepulanganku.
Aku baru mengerti “ mungkin inilah rasanya menjadi lelaki seutuhnya”.
Alhamdulillah, istriku ini paham.
Tubuh yang peluh dipijat, meski terasa sakit aku hanya diam. Menyembunyikan
rasa sakit. Aku memang tak pernah cerita tentang pekerjaanku pada istriku. Aku
hanya bilang aku berangkat bekerja, dan aku berpesan “bunda, jangan tanya kerja
ayah apa. bunda hanya boleh tanya halalkah yang ayah bawa, doakan ayah” hanya
itu. Dengan meninggalkan senyum fani, aku berangkat. Entah apa yang akan
kulakukan nanti, yang paling penting yakin.
Tapi kini aku mengerti, mungkin
ini adalah jalan Tuhan. Atau jawaban dari doa-doa istriku, atau mungkin risky
untuk si fani anakku. Tuhan Maha Pengasih dan Penyayang atas semua risky yang kuterima. Tuhan yang
lebih mengerti tentang keadaan hambanya, akan aku jalani, jalan ini.
“Inilah keluargaku, aku yang akan
bertanggung jawab terhadap anak istriku !!” Tegas mas aris ketika bercerita
pada penulis.
Kisah inspiratif :
Mas aris
04/12/2016
0 komentar:
Posting Komentar