gambar embun
Aku menitipkan sebuah surat terlipat dengan tetesan air mata. Surat yang
tertulis oleh saksi malam, dan dinginnya malam saat musim kemarau silam. Kutulis
perlahan sebagaimana peremmpuan mengungkapkan perasaan. Aku memang hanyalah
perempuan diam yang hanya bisa menunggu ungkapan dari sesosok laki-laki dewasa
yang siap menjadi imam. Tulisan ini tak ubahnya perasaan yang tertahan, atas
sebuah rasa kesal pada seseorang yang benar kuharapkan. Bait katanya kuungkap
sangat ringkas dengan pilihan kata khusus sangat bagus. Meski perbendahaaran
kata yang sangat sederhana, aku mencoba menuliskanya dengan sangat sempurna.
Setidaknya semua ini bisa mewakili perasaan yang diam.
Aku tidak pernah membandingkan laki-laki manapun, dari segi apapun. Baik
kaya, terpandang, berkedudukan bahkan bangsawan sekalipun. Harapanku hanya
Akhlak yang bisa bertanggung jawab, yang menjadi pertimbangan dalam hidupku. Mau
mencukupi kebutuhanku, bukan keinginanku. Mau menyaksikan kelahiran putra
pertamaku dan memberikan adzan untuknya. Aku hanya sedang bersedih, sebagai
seorang perawat seringkali aku menyaksikan sendiri kelahiran seorang bayi oleh
ibu tanpa ditemani sang suami. Bagaimana perasaanya sang ibu, saat menahan
kesakitan setengah mati tapi sang suami tidak ada disampingnya. Tapi mau
bagaimana lagi , itu hanya ungkapanku , ungkapan ini tak pernah bisa mewakili
perasaan orang lain apalagi sang ibu yang sedang melahirkan bayi. Meski terkdang
ku anggap telepon adalah hal yang bisa mewakili, tapi aku rasa itu tidak mungkin
bisa. Sebagai seorang wanita mungkin sudah seharusnya memahami jika memang itu
yang akan terjadi padaku suatu saat nanti meski aku sendiri sangat tidak ingin
itu terjadi.
Aku sudah sangat sering mencari berita, tentang bagaimana menjadi seorang
ibu. Buku demi buku kupelajari, tak jarang aku pun belajar masak melalui
resep-resep yang ada majalah-majalah, dan resep dari handphone. Bukan hanya itu,
gadget canggihku ini pun tak pernah berhenti mengikuti tulisan-tulisan mengenai
problematika keluarga. Memang sangat banyak sekali ternyata, tak jarang pula
kualitas bacaan-bacaan yang kupelajari membuatku miris, mulai perselingkuhan,
percerian, hingga dampak terhadap anak. Aku mencoba memahami, kesiapan diriku
memang sangat kurang dan aku akan terus belajar. Biasanya ibu pun kuajak bicara
tentang permasalahan-permasalahan berkeluarga. Ibu selalu menjadi juara dan guru
terbaik dalam semua problematika. Barangkali hanya ibulah yang mampu memahami
perasaanku dan persaan wanita yang sesungguhnya. Ibu memang bukan perawat
sepertiku, saat aku telahir ayahlah yang mengadzani diriku. Aku sangat bahagia
mendengar cerita itu.
Aku jadi ingat pelajaran ketika duduk di bangku Madrasah dulu. Kala itu
guruku menerangkan bahwa Ucapan seorang ibu adalah doa yang sangat manjur, selaian itu guruku pun bilang jika ucapan seorang laki-laki yang meminta cerai (tidak dalam bercanda) satu kali maka dihukumi talak satu, jika dilakukan tiga kali maka sang istri
bukan lagi bagian dari sang suami. Namun jika sang istri yang menyatakan cerai pada pengadilan dengan beberapa syarat,
maka suami istri haruslah berpisah. Dari sini saya belajar bahwa ungkapan
laki-laki tak pernah bisa seberat ungkapan seorang wanita yang sesungguhnya. Hal
inipun sudah aku buktikan ketika masih kuliah dulu, suatu ketika aku bertemu
dengan seorang bapak-bapak yang kukenal ketika aku masih SMA dengan maksud
berbasa-basi aku bertanya " sekarang berapa putranya pak ?" beliau malah
menjawab dengan tertawa " putra dari istri mana dulu ?? haha". Padahal aku tau
sendiri istrinya hanya satu, Tak hanya sekali ini aku mencoba bertanya seperti
itu pada bapak-bapak dan jawabanya hampir selalu sama. Namun berbeda dengan
ibu-ibu, yang ketika ditanya mereka akan langsung menjawab dengan apa adanya. Ya
itulah perempuan selalu lebih dewasa sebenarnya, hehemmb. Ibu pernah bilang
kepadaku bahwasanya laki-laki itu hanya butuh dipahami sebagaimana anak kecil
sehingga dia akan tampak dewasa dan gagah perkasa. Barangkali film yang pernah
ku tonton yakni Tenggelamnya kapal Van der Wijck adalah gambaran kerapuhan
seorang laki-laki yang sebernarnya. Maaf, bukan berarti aku mengatakan semua
laki-laki seperti itu. hehemb
Surat yang kumaksud adalah doa yang selalu terlipat diantara petang dan pagi.
Yah, aku sendiri berusaha mengungkapkan pada Tuhan dengan air mata agar tak ada
yang bernasib sepertiku ini, tak ada yang kusakiti dan kita semua akan bahagia.
Aku hanya terinsiprasi dari ibu yang setiap malam tidur bersamaku ketika aku
kecil dulu karena ayah yang bekerja shift malam. Kulihat ibu berdoa
sejadi-jadinya untukku dan keluargaku. Aku hanya berusaha diam sambil
berpura-pura tidur kala itu. Mungkin air mata ibulah yang sebening embun,
begitupun air mata wanita lainya. Sebagaimana embun yang hanya bisa ditangkap
oleh dedaunan yang tak kaku. Semakin tidak kaku suatu daun, maka disanalah embun
akan berkumpul dengan lebih banyak. Ungkapan itu mungkin bisa kita pahami, sudah
seharusnya seorang laki-laki itu tidak kaku dan juga tidak lemas untuk memahami
embun yang bening.
Diketik 26 April 2016
Isnpirasi
0 komentar:
Posting Komentar