Rabu, 27 April 2016

Filled Under: ,

Sebening Embun

Cerita kisah
gambar embun 

Aku menitipkan sebuah surat terlipat dengan tetesan air mata. Surat yang tertulis oleh saksi malam, dan dinginnya malam saat musim kemarau silam. Kutulis perlahan sebagaimana peremmpuan mengungkapkan perasaan. Aku memang hanyalah perempuan diam yang hanya bisa menunggu ungkapan dari sesosok laki-laki dewasa yang siap menjadi imam. Tulisan ini tak ubahnya perasaan yang tertahan, atas sebuah rasa kesal pada seseorang yang benar kuharapkan. Bait katanya kuungkap sangat ringkas dengan pilihan kata khusus sangat bagus. Meski perbendahaaran kata yang sangat sederhana, aku mencoba menuliskanya dengan sangat sempurna. Setidaknya semua ini bisa mewakili perasaan yang diam.

Aku tidak pernah membandingkan laki-laki manapun, dari segi apapun. Baik kaya, terpandang, berkedudukan bahkan bangsawan sekalipun. Harapanku hanya Akhlak yang bisa bertanggung jawab, yang menjadi pertimbangan dalam hidupku. Mau mencukupi kebutuhanku, bukan keinginanku. Mau menyaksikan kelahiran putra pertamaku dan memberikan adzan untuknya. Aku hanya sedang bersedih, sebagai seorang perawat seringkali aku menyaksikan sendiri kelahiran seorang bayi oleh ibu tanpa ditemani sang suami. Bagaimana perasaanya sang ibu, saat menahan kesakitan setengah mati tapi sang suami tidak ada disampingnya. Tapi mau bagaimana lagi , itu hanya ungkapanku , ungkapan ini tak pernah bisa mewakili perasaan orang lain apalagi sang ibu yang sedang melahirkan bayi. Meski terkdang ku anggap telepon adalah hal yang bisa mewakili, tapi aku rasa itu tidak mungkin bisa. Sebagai seorang wanita mungkin sudah seharusnya memahami jika memang itu yang akan terjadi padaku suatu saat nanti meski aku sendiri sangat tidak ingin itu terjadi.

Aku sudah sangat sering mencari berita, tentang bagaimana menjadi seorang ibu. Buku demi buku kupelajari, tak jarang aku pun belajar masak melalui resep-resep yang ada majalah-majalah, dan resep dari handphone. Bukan hanya itu, gadget canggihku ini pun tak pernah berhenti mengikuti tulisan-tulisan mengenai problematika keluarga. Memang sangat banyak sekali ternyata, tak jarang pula kualitas bacaan-bacaan yang kupelajari membuatku miris, mulai perselingkuhan, percerian, hingga dampak terhadap anak. Aku mencoba memahami, kesiapan diriku memang sangat kurang dan aku akan terus belajar. Biasanya ibu pun kuajak bicara tentang permasalahan-permasalahan berkeluarga. Ibu selalu menjadi juara dan guru terbaik dalam semua problematika. Barangkali hanya ibulah yang mampu memahami perasaanku dan persaan wanita yang sesungguhnya. Ibu memang bukan perawat sepertiku, saat aku telahir ayahlah yang mengadzani diriku. Aku sangat bahagia mendengar cerita itu.
 
Aku jadi ingat pelajaran ketika duduk di bangku Madrasah dulu. Kala itu guruku menerangkan bahwa Ucapan seorang ibu adalah doa yang sangat manjur, selaian itu guruku pun bilang jika ucapan seorang laki-laki yang meminta cerai (tidak dalam bercanda) satu kali maka dihukumi talak satu, jika dilakukan tiga kali maka sang istri bukan lagi bagian dari sang suami. Namun jika sang istri yang menyatakan cerai pada pengadilan dengan beberapa syarat, maka suami istri haruslah berpisah.  Dari sini saya belajar bahwa ungkapan laki-laki tak pernah bisa seberat ungkapan seorang wanita yang sesungguhnya. Hal inipun sudah aku buktikan ketika masih kuliah dulu, suatu ketika aku bertemu dengan seorang bapak-bapak yang kukenal ketika aku masih SMA dengan maksud berbasa-basi aku bertanya " sekarang berapa putranya pak ?" beliau malah menjawab dengan tertawa " putra dari istri mana dulu ?? haha". Padahal aku tau sendiri istrinya hanya satu, Tak hanya sekali ini aku mencoba bertanya seperti itu pada bapak-bapak dan jawabanya hampir selalu sama. Namun berbeda dengan ibu-ibu, yang ketika ditanya mereka akan langsung menjawab dengan apa adanya. Ya itulah perempuan selalu lebih dewasa sebenarnya, hehemmb. Ibu pernah bilang kepadaku bahwasanya laki-laki itu hanya butuh dipahami sebagaimana anak kecil sehingga dia akan tampak dewasa dan gagah perkasa. Barangkali film yang pernah ku tonton yakni Tenggelamnya kapal Van der Wijck adalah gambaran kerapuhan seorang laki-laki yang sebernarnya. Maaf, bukan berarti aku mengatakan semua laki-laki seperti itu. hehemb

Surat yang kumaksud adalah doa yang selalu terlipat diantara petang dan pagi. Yah, aku sendiri berusaha mengungkapkan pada Tuhan dengan air mata agar tak ada yang bernasib sepertiku ini, tak ada yang kusakiti dan kita semua akan bahagia. Aku hanya terinsiprasi dari ibu yang setiap malam tidur bersamaku ketika aku kecil dulu karena ayah yang bekerja shift malam. Kulihat ibu berdoa sejadi-jadinya untukku dan keluargaku. Aku hanya berusaha diam sambil berpura-pura tidur kala itu. Mungkin air mata ibulah yang sebening embun, begitupun air mata wanita lainya. Sebagaimana embun yang hanya bisa ditangkap oleh dedaunan yang tak kaku. Semakin tidak kaku suatu daun, maka disanalah embun akan berkumpul dengan lebih banyak. Ungkapan itu mungkin bisa kita pahami, sudah seharusnya seorang laki-laki itu tidak kaku dan juga tidak lemas untuk memahami embun yang bening.



Diketik 26 April 2016
Isnpirasi 

0 komentar:

Posting Komentar

 

We are featured contributor on entrepreneurship for many trusted business sites:

  • Copyright © CakSugit Note'S 2015
    Distributed By My Blogger Themes | Designed By Triyono Sugit